Sorong, 17 April 2024 – Dalam menghadapi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Papua Barat Daya, perdebatan seputar implementasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua semakin memanas. Paul Finsen Mayor, Ketua Dewan Adat Wilayah III Doberay dan anggota DPD RI terpilih periode 2024 – 2029, menegaskan pandangannya terkait dengan identitas Orang Asli Papua (OAP) dan Non OAP dalam konteks regulasi Otsus Papua.
Dalam pernyataannya di Sorong, Paul Finsen Mayor menekankan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) Papua berlandaskan pada syariat adat yang mengutamakan hak kesulungan hanya bagi laki-laki. “Otsus kita inikan syariat adat, jadi dalam hukum adat itu hak kesulungan itu hanya ada di laki-laki tidak di perempuan. Saya pikir adat-adat yang lain juga rata-rata sama cuma beberapa marga mungkin di Minang atau di mana lagi itu yang beda,” ungkap Paul Finsen Mayor dalam menjelaskan landasan hukum Otsus Papua
Menurutnya, adat Papua secara konsisten mengatur bahwa hak kesulungan hanya dimiliki oleh laki-laki, dengan perempuan memiliki hak-hak yang terpisah tergantung pada izin dari pria yang berwenang dalam keluarga. “Dalam adat Papua, perempuan tidak memiliki hak dalam pembagian tanah, hanya memiliki hak makan yang harus mendapat izin dari laki-laki. Jadi kalau yang mama Papua, Bapak pendatang itu tidak bisa. Jangan paksa rebut hak keseluruhan saudaramu, itu bahaya, bisa kena kutuk dan nanti bisa mati. Jadi itu tidak masuk kategori OAP,” ujarnya dengan tegas.
Paul Finsen Mayor menekankan bahwa definisi Orang Asli Papua (OAP) harus jelas dan tidak boleh dipertentangkan. “Yang masuk kategori OAP adalah kombinasi Bapak Papua dan Mama Papua, serta Bapak Papua dan Mama Non Papua. Coba buka di pasal mana ayat mana yang kriteria itu, hanya digiring-giring saja, itu isu. Dengar harus dari Dewan Adat Papua di rumah adat,” tegasnya.
Dalam konteks Pilkada 2024, Paul Finsen Mayor menyatakan bahwa Dewan Adat Papua tidak akan memberikan status anak adat kepada siapapun. “Karena ini tahun politik, maka Dewan Adat Papua menyatakan tidak akan memberikan status anak adat kepada siapapun. Karena 2024 ini tahun politik. Jadi kalau ada yang mau mengklaim yang buat prosesi adat, itu pasti kelompok dalam tanda kutip, kelompok mencari,” Paparnya.
Paul Finsen Mayor memastikan bahwa struktur Dewan Adat Papua dari tingkat tertinggi hingga terendah tidak akan melakukan pengakuan status anak adat untuk kepentingan politik. “Itu kelompok yang tidak tahu adat dan tidak punya urat malu, tidak tahu diri mau jual hak kesulungan. Karena kalau hak kesulungan itu tidak bisa dan orang yang suka jalan cari-cari atau klaim-klaim minta pengakuan maka fix dia orang pendatang. Orang Papua tidak punya adat dan budaya seperti itu. Jadi harus tahu adat dan punya urat malu. Kalau bukan asli Papua, jangan paksa maju, itu memalukan,” kecamnya.
Menanggapi pertanyaan tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga kultur adat, Paul Finsen Mayor menyatakan bahwa hak kesulungan tidak bisa dirampas oleh siapapun. “Sebenarnya orang selalu bilang MRP-MRP, memang itu lembaga kultur tapi ingat ini hidup di Papua. Orang Papua itu hatinya hidup, jangan buat orang Papua tersakiti dengan kamu rampas hak kesulungannya. Ini bukan soal MRP. Kalau orang Papua sudah tolak, ya sudah, kamu jangan maju, jangan paksa rebut nanti bisa ribut,” tegasnya.
Paul Finsen Mayor juga memberikan pandangan tentang tokoh-tokoh yang sebelumnya sudah memiliki gelar adat, menegaskan bahwa pemberian gelar adat tidak boleh didasarkan pada kepentingan politik dan upeti. “Siapa yang kasih gelar adat? Catat baik ya, pemberian gelar adat tidak berdasarkan kepentingan politik dan upeti, tidak ada itu,” pungkasnya.
(Red)