Oleh : Safrudin. Sekretaris umum Badko HMI Jabodetabeka-Banten.
Status Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah wujud paling telanjang dari konspirasi antara negara dengan korporasi. Pasalnya amat terang, proyek swasta yang dibangun Agung Sedayu Group milik Aguan tersebut tidak seharusnya memperoleh status sebagai proyek nasional negara. Bagaimana mungkin proyek swasta yang hanya menguntungkan segelintir orang dikualifikasi sebagai proyek nasional yang mewakili kepentingan warga negara. Lebih dari itu, dengan status sebagai PSN, korporasi swasta milik Aguan tersebut dapat menggunakan alat negara untuk mengeksploitasi tanah rakyat, merampas hak asasi manusia, dan mengabaikan tanggung jawab pemerintah terhadap keadilan sosial serta lingkungan.
Penggusuran Berdalih PSN: Siasat Sesat Pengusaha dan Penguasa
PSN seharusnya merupakan proyek yang berorientasi pada kepentingan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur yang menyasar kemaslahatan rakyat, dan mendorong pemerataan ekonomi. Alih-alih memenuhi kualifikasi tersebut, PIK 2 malah merupakan kawasan elit dengan properti mewah yang hanya dapat diakses segelintir orang kaya. Keputusan memberikan status PSN kepada PIK 2 hanya mempertegas bias pemerintah yang lebih berpihak kepada elite ekonomi daripada rakyat kecil. Status tersebut memberikan akses istimewa bagi pengembang untuk memperoleh kemudahan perizinan, pembebasan lahan, serta dukungan infrastruktur publik.
Daripada mengabdi pada kepentingan publik, tanah rakyat dan hutan lindung dihancurkan untuk membangun properti yang justru mengasingkan rakyat dari akses ke ruang hidup yang layak. Jika ini adalah prioritas negara, maka ada yang salah dengan arah pembangunan kita. Fakta bahwa proyek ini dimiliki oleh konglomerat swasta menunjukkan betapa negara telah melakukan siasat sesat, memanfaatkan hukum sebagai instrumen untuk menindas dan merampas. Alat yang digunakan adalah Undang-undang Cipta Kerja, yang sejak kelahirannya dicurigai sebagai “Karpet Merah Oligarki”. Kini, kecurigaan itu benar-benar terkonfirmasi.
Konspirasi Negara dan Korporasi
Status PSN pada PIK 2 mengindikasikan adanya konspirasi antara negara dan korporasi dalam merampas tanah rakyat. Agung Sedayu Group, sebagai pengembang utama, bukan hanya memanfaatkan koneksi politik untuk melancarkan proyek ini, tetapi juga mendapatkan perlindungan dari pemerintah dalam menghadapi kritik dan resistensi masyarakat. Aguan dkk, bahkan secara terang-terangan bertamu di kediaman Jokowi, seolah hendak memberi sinyal untuk “mengamankan barang”nya. Padahal publik mengetahui, bahwa status PSN PIK 2 yang merampas tanah rakyat itu diberikan di akhir masa pemerintahan Jokowi.
Penyerahan tanah rakyat untuk kepentingan korporasi menunjukkan bahwa negara telah berubah menjadi fasilitator bagi kapitalisme, alih-alih menjadi pelindung bagi rakyatnya. Konspirasi ini tampak jelas dalam proses pembebasan lahan yang kerap disertai pelanggaran hak asasi manusia melalui alat-alat negara, yakni Polisi dan Tentara. Banyak warga lokal yang dipaksa meninggalkan tanah mereka tanpa kompensasi yang memadai. Kehilangan tanah berarti kehilangan identitas, sejarah, dan mata pencaharian. Namun, pemerintah, yang seharusnya bertindak sebagai penengah, justru mengabaikan penderitaan rakyat dengan mendukung penuh agenda korporasi.
Dalih pemerintah bahwa proyek ini akan meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja tidak lebih dari “omon-omon”. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dari PIK 2 lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite, sementara mayoritas masyarakat lokal justru semakin terpinggirkan. Negara tidak boleh menjadi alat korporasi untuk memuluskan eksploitasi terhadap rakyatnya sendiri.
Merampas Hak Asasi dan Menghapus Tanggung Jawab Negara
Pembangunan PIK 2 juga mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Hak atas tanah, yang merupakan bagian integral dari hak asasi, diabaikan demi keuntungan segelintir pihak. Reklamasi yang dilakukan untuk memperluas kawasan ini menghancurkan ekosistem pesisir dan tambak yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Hilangnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang vital adalah bentuk perampasan hak yang tidak dapat diterima.
Lebih jauh, status PSN memberikan legitimasi palsu bagi pemerintah untuk menghindari tanggung jawabnya terhadap rakyat. Dengan mendukung penuh proyek ini, pemerintah secara de facto mengabaikan kewajibannya untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal dan ekosistem yang mereka andalkan. Negara seharusnya menjadi penjamin keadilan, tetapi dalam kasus PIK 2, negara justru menjadi aktor utama yang memuluskan jalan bagi ketidakadilan.
Pemerintah mengaku tidak tahu atas temuan “Pagar Laut” sepanjang 30,6 KM disekitar daerah pengembang PIK 2. Padahal, sejumlah penelusuran mengungkap bahwa pagar laut yang merusak mata pencaharian masyarakat tersebut terindikasi kuat merupakan milik Aguan. Menteri Koordinator bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dengan enteng berdalih tidak tahu menahu apa yang terjadi. Seolah kuasa negara takluk dihadapan kuasa korporasi.
Proyek Elitis yang Melawan Semangat Kebangsaan
Pengembangan PIK 2 dengan berbagai masalahnya seolah meludahi wajah Presiden Prabowo yang dalam berbagai pidatonya menyatakan akan berpihak terhadap rakyat kecil. Bukannya berpihak pada rakyat kecil, proyek ini malah memfasilitasi ketimpangan dan memperluas disparitas antara si kaya dan si miskin. Proyek ini juga menghancurkan nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi bagian dari identitas bangsa. Masyarakat pesisir yang telah mendiami wilayah tersebut selama puluhan tahun dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka, memutus hubungan mereka dengan sejarah dan tradisi lokal. Ketika negara mengabaikan aspek-aspek ini, ia tidak hanya mengkhianati rakyatnya, tetapi juga merendahkan nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar pembangunan nasional.
Evaluasi Pembangunan PIK 2
Untuk mengatasi kerusakan yang telah terjadi, langkah-langkah solutif perlu segera diambil. Pertama, Pemerintah harus mencabut status PSN dari PIK 2 dan mengevaluasi ulang seluruh proses perizinan proyek ini. PSN seharusnya diberikan kepada proyek yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan kepada proyek swasta yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Kedua, audit yang transparan dan independen perlu dilakukan untuk mengungkap pelanggaran yang terjadi, termasuk perampasan tanah, penghancuran ekosistem, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, pemberian kompensasi yang Layak terhdap masyarakat lokal yang terdampak, baik dalam bentuk tanah pengganti, bantuan ekonomi, maupun akses ke sumber daya yang setara. Keempat, PSN harus diorientasikan kembali kepada proyek-proyek yang benar-benar membawa manfaat bagi rakyat banyak, seperti infrastruktur publik, pendidikan, dan kesehatan. Proyek-proyek elitis seperti PIK 2 tidak boleh lagi mendapatkan prioritas dari negara.