Raja Ampat – Proses penyidikan kasus dugaan kekerasan terhadap anak yang melibatkan klien La Ode Munir sebagai terlapor semakin dipertanyakan. Kuasa hukum terlapor menilai bahwa Polres Raja Ampat lamban dalam menangani kasus ini, mengingat sudah lebih dari dua bulan sejak laporan orang tua korban diterima.
La Ode Munir, selaku Kuasa Hukum utama, mengungkapkan keprihatinannya atas stagnasi dalam proses penyidikan. “Kami mempertanyakan proses penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik Polres Raja Ampat. Klien kami sebagai terlapor memiliki hak asasi agar mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum,” tegas Munir.
Kasus ini bermula pada 15 Juli 2024, ketika orang tua korban melaporkan dugaan kekerasan terhadap anak mereka. Penyidik kemudian menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan dan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Sorong, mencantumkan nama terlapor. Munir menilai kliennya telah dicemarkan namanya karena tuduhan yang tidak berdasar.
“Pada prinsipnya, kami sepakat bahwa kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Namun, dalam perkara ini, klien kami merasa nama baiknya telah dicemarkan. Laporan orang tua korban atas nama MSM mengarah pada saudara KNS berdasarkan SPDP yang telah ditembuskan kepada terlapor, sedangkan faktanya yang bersangkutan tidak melakukan penganiayaan terhadap anak korban seperti yang dilaporkan,” lanjut Munir.
Hayirul Raha, salah satu Kuasa Hukum terlapor, menambahkan bahwa keterangan saksi dalam kasus ini sangat lemah. “Oleh karena anak saksi yang dimintai keterangan sebagai saksi fakta tidak melihat dan mendengar terjadinya kekerasan yang disangkakan itu di TKP, maka kami menduga alat bukti berupa keterangan saksi dalam perkara ini sangatlah lemah. Jika benar terdapat luka pada anak korban dalam visum, bisa saja ada pihak lain yang melakukan kekerasan, namun klien kami yang menjadi tertuduh,” jelas Hayirul.
Munir mengingatkan bahwa penyidik seharusnya mematuhi ketentuan dalam Pasal 171 huruf a KUHAP, yang menyatakan bahwa:
“Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin.”
Dengan demikian, keterangan anak di bawah umur dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana. Hal ini sejalan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan saksi yang tidak disumpah tidak dapat dijadikan alat bukti utama.
La Ode Munir menegaskan pentingnya kepastian hukum bagi kliennya dan mendesak agar penyidik segera menghentikan penyidikan ini jika bukti yang ada tidak mencukupi.
“Kami menghimbau kepada penyidik bahwa dalam kategori perkara sederhana seperti ini, jika alat bukti tidak mencukupi, segera terbitkan Penghentian Penyidikan (SP3). Jika tidak, kami menduga ada upaya kriminalisasi terhadap klien kami,” ujar Munir. Ia juga memperingatkan bahwa jika kasus ini tetap dilanjutkan tanpa cukup bukti, pelapor dan pihak lainnya akan menghadapi konsekuensi hukum jika kliennya tidak terbukti bersalah.
Tim Kuasa Hukum juga berencana melaporkan beberapa oknum Polres Raja Ampat ke Polda Papua Barat terkait dugaan arogansi dan intimidasi dalam penanganan kasus ini.
“Kami akan melaporkan beberapa oknum Polres Raja Ampat atas dugaan arogansi, intimidasi, dan praktik yang tidak semestinya. Kami berharap tidak ada lagi kejadian serupa di masa mendatang,” tambah Munir.
Saat ditanya mengenai nama oknum yang akan dilaporkan, Munir hanya menjelaskan, “Ada oknum perwira dan beberapa oknum bintara. Kita tunggu saja ya.” pungkasnya